SEPEDA LOW RIDER Si Kontet yang Makin Dicari

Punya bentuk unik dan makin dicari. Ada dua pilihan mendapatkannya. Gerilya bagian satu per satu, atau membelinya utuh. Tetapi, kendala mengendarai justru menjadi halangan utama. Kenalan yuk sama sepeda “low rider”.
Sepeda itu lebih cocok dipakai anak kecil dibandingkan orang dewasa. Ukurannya mungil dan berbentuk enggak seperti sepeda biasa. Tampilannya semarak. Rangkanya dicat meriah, bahkan ada yang di-chrome dengan finishing perak mengilat, atau emas yang kinclong.
Setang sepedanya pun dibikin ala motor gede, dengan style choopper (itu lho setang motor yang tegak ke atas hingga kala mengendarainya posisi tangan hampir tegak lurus ke atas). Bahan untuk membuat setang sepedanya pun bukan dari besi biasa. Rantai kapal, sampai besi tempa untuk bahan dasar pagar rumah bisa dijadikan aksesori sepeda.
Semua sepeda “ajaib” itu terjejer rapi di halaman rumah Beri, di kawasan Pondok Indah. Siang itu bareng seorang kawannya, Rezi, keduanya lagi asyik berdiskusi tentang keempat sepeda yang mereka bangun sendiri.
“Gue sih sudah lama banget pengin punya sepeda kayak gini,” beber Beri. Maklum sepeda yang kental dengan gaya hidup orang kulit hitam di Amrik itu punya bentuk yang seru.
“Biasanya sepeda jenis ini yang memakai anak geng kulit bewarna di Amerika,” jelas Rezi.
Tren yang sudah ada dari zaman dulu itu makin naik seiring dengan seringnya video klip yang kental nuansa hip hop atau punk-nya diputer di televisi. Macam video klip Anthem-nya Good Charlote, atau malah Muka Tebal-nya Superman Is Dead. Enggak heran kalau sepeda seperti ini selalu dikaitkan dengan komunitas kulit berwarna di Amerika.
Sayangnya, buat memiliki sepeda ini susahnya minta ampun. Enggak ada satu toko sepeda pun di Indonesia yang menjual sepeda jenis ini. “Waktu gue lagi di Amerika, gue enggak menemukan toko yang menjual sepeda seperti ini,” ungkap Beri.
Sesampainya di Indonesia, Beri juga harus mengubur mimpinya dalam-dalam. Tapi, niatnya itu terwujud ketika tiga bulan lalu seorang kawan menawarkan sebuah rangka sepeda zaman dulu. “Gue pikir bisa nih dijadiin sepeda low rider (sebutan karib si sepeda kontet),” cetusnya lagi.
Mulai deh hari dan kehidupannya (duh segitunya) dihabiskan untuk memenuhi impiannya sejak dulu. Aksesori tambahan yang enggak dijual di Indonesia dibikin secara prakarya olehnya. “Setangnya gue pakai rantai kapal. Gue las listrik dulu, baru gue finishing chrome,” tukas Beri lagi. Sekitar empat minggu dia habiskan waktu untuk membangun sepeda impiannya. “Kalau sudah tahu apa yang kita mau, pasti gampang sih. Soalnya sudah kebayang inginnya seperti apa,” tambah Beri.
Order
Bak seniman yang habis menyelesaikan karyanya. Beri pun melakukan “pameran” kecil-kecilan. Apalagi kalau bukan mengendarai sepeda kontetnya keliling daerah rumahnya. Ternyata ada yang melihat aksinya keliling kompleks. Sesampainya di rumah, beberapa kawannya menelepon dan meminta dibuatkan sepeda seperti miliknya. “Mulai deh gue kebanjiran order buat bikin sepeda seperti ini,” kenang Beri.
Toh order yang datang kepada dirinya enggak bisa begitu saja dikerjakan. “Banyak yang datang ke gue, tapi belum tau mau dibikin apa sepedanya. Gue kasih masukan pasti ada saja yang kurang. Utamanya sih masalah dana,” tukasnya cuek. “Tapi, berhubung yang datang ke gue teman-teman gue juga, enggak mungkin gue tolak,” akunya lagi.
Kalau kita tertarik, sebenarnya ada dua cara yang bisa kita lakukan untuk mengoleksi si kontet ini. Pertama, cara gerilya macam yang dilakukan Beri. Hunting satu per satu sampai semua parts lengkap.
“Gue beli semuanya satu per satu. Rangkanya gue hunting sendiri,” ungkapnya. Maklum rangka sepeda low rider biasanya menggunakan “bangkai” sepeda kuno. Tahu sendiri dong barangnya enggak mungkin dicari di toko sepeda. “Kalau yang lain sih gampang. Ban sama velg biasanya masih ada yang jual,” ujarnya lagi.
Cara kedua, cara instan seperti yang dilakukan Rezi. Alih-alih hunting ke tukang loak, nih cowok langsung membeli di negara pusatnya sepeda low rider, Amerika. “Kebetulan pas gue ke sana dan ada uang sisa ya sudah gue beli aja yang sudah jadi,” jelas cowok yang hobi memakai kacamata ini.
Maklum, di Amerika pasar sepeda seperti ini sudah jelas. Jadi, toko yang menjual sepeda utuh dan aksesorinya juga bejibun. “Gue beli utuh mereknya Low Rider sekitar 300-an dollar,” ungkap Rezi.
Capek
Lambat laun komunitas—yang lebih suka disebut Beri sebagai habitat—mulai terbentuk. Dari hanya sendirian, kini Beri punya sekitar lima orang teman untuk diajaknya berkeliling dengan si kontet.
Toh dari semua keasyikan membangun si kontet, ada satu kendala yang enggak Beri suka. Berhubung sepeda ini didesain sangat pendek, mau enggak mau mengayuh pedalnya memang agak ribet. “Kalau sudah ketemu tanjakan malas banget rasanya. Jadi, gue enggak pernah main jauh-jauh. Paling sekitaran rumah,” tukas Beri.
“Soalnya, kalau di Amerika sendiri, nih sepeda memang bukan didesain untuk dikayuh, melainkan didayung menggunakan kaki. Karena negro-negro di Amerika menggunakan sepeda ini hanya di seputaran blok rumah mereka,” tambah Rezi lagi.
Selain Beri, masih ada beberapa kelompok lain yang hobi mendandani sepeda low rider seperti ini. “Biasanya mereka nongkrong di Circle K Jalan KH Ahmad Dahlan. Mereka serius bener. Soalnya sepeda itu memang dipakai jalan,” jelas Beri.
Atau malah di Bandung. Komunitas streetball yang ada di sana cukup akrab dengan komunitas sepeda low rider. “Biasanya kami ngumpulnya setiap hari Rabu malam. Gabung sama anak-anak break dance dan streetball,” beber Insane dedengkot streetball dari tim Future asal Bandung.
Dengan bentuknya yang unik, sepeda seperti ini memang asyik untuk dikoleksi. Tinggal pilih caranya, mau yang instan apa yang gerilya? Pilihan ada di tangan kita.
ADHITYASWARA NUSWANDANA Tim MUDA

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply