SEPEDA CEPER LEBIH GAYA


ANGGOTA komunitas sepeda ceper (“lowrider”) saat memperingati Hari Lingkungan Hidup di Bandung, 11 Juni 2008 lalu. Di kalangan komunitas sepeda “lowrider”, kepemilikan sepeda tersebut sekadar hobi atau kesukaan semata.* ADE BAYU INDRA
DIBANDINGKAN dengan jenis kereta angin lainnya, jenis lowrider diakui lebih menunjukkan gaya hidup dan citra pemakainya. Secara sepintas saja, dari modelnya orang sudah menilai kalau jenis lowrider hanya sepeda untuk gaya-gayaan.
Add caption
“Memang sepeda lowrider ini bukan sepeda untuk sarana olah raga atau transportasi. Saat ini, di kalangan komunitas sepeda lowrider sendiri, kepemilikan sekadar hobi atau kesukaan semata,” ujar Arief Budiman, salah seorang pegiat sepeda lowrider, di sela-sela kegiatan sosialisasi “Bike to Work” beberapa waktu lalu.
Baru tiga tahun belakangan ini, kehadiran sepeda jenis lowrider mampu menarik hati peminatnya. “Namun, sejauh ini tuntutan peminat sekadar untuk ikut-ikutan tren atau life style,” ungkap Arief.
Dibandingkan dengan sepeda-sepeda jenis lainnya, menurut Arief, lowrider membutuhkan perhatian lebih. Sebab, hampir semua bagian semisal ban, velg, dan setang berwarna krom, untuk perawatannya menggunakan krim khusus. “Untuk harga per unit, jangan ditanya, rata-rata di atas Rp 1 juta untuk yang standar. Oleh karena itu, banyak anggota komunitas memilih untuk membangun sendiri,” kata Kimung.
Ciri fisik sepeda lowrider adalah memiliki setang yang tinggi (ape hanger) dan garpu depan yang panjang sampai hampir menyentuh tanah. Adapun jok yang dipakai adalah jok model pisang (banana seat) dengan sandaran (sissy bar) dari besi. Kerangka sepeda biasanya menggunakan model pelangi (rainbow bent frame).
Selain itu, biasanya pemilik memberikan tambahan aksesori lain seperti penutup pentil ban, rumbai-rumbai, serta kaca spion khas sepeda motor Harley-Davidson. Aksesori itu dilengkapi dengan logo khas sepeda lowrider, seperti orang tersenyum, mata dadu, atau angka delapan pada bola biliar.
Mengenai sebutan lowrider, menurut Kimung, merujuk pada sistem gerakan dari sebuah kendaraan yang dibuat lebih rendah dari ukuran normal. Sepeda ceper yang asalnya dari Amerika Serikat tersebut merupakan karya cipta George Barris, ahli mobil lowrider dan mulai diperkenalkan tahun 1960-an bersamaan dengan mulai dikenalnya tipe mobil lowrider.
Lahirnya lowrider sendiri, berdasarkan sejarahnya, merupakan bentuk keprihatinan Barris akan keinginan anak-anak untuk turut merasakan sensasi kendaraan lowrider. Ternyata keprihatinan Barris mendapat sambutan pabrik sepeda Schwinn yang kemudian membantu untuk memproduksi dan pertama kali keluar model sepeda lowrider bernama New Cruiser Sting Ray (1964). Di Indonesia, sepeda ini sempat populer pada 1980-an. Namun, lima tahun kemudian, bersamaan dengan keluarnya sepeda jenis BMX, sepeda lowrider langsung tersingkir.
Setelah berselang 25 tahun, sepeda ceper kembali naik daun. Awalnya, para pemakainya masih berpencar dan menikmati sepeda tersebut sendiri-sendiri. Setahun kemudian, komunitas sepeda mulai terbentuk di mana-mana, seiring dengan munculnya komunitas penunggang sepeda lain seperti Bike to Work dan Komunitas Sepeda Onthel.
Kini di kala bersepeda menjadi life style yang mengangkat citra penggunanya, setiap pemilik lowrider seakan terus memuaskan diri. “Pehobi, terutama kolektor umumnya tidak hanya memiliki satu tunggangan lowrider, kalau tidak dua, bisa tiga atau bahkan lima,” ujar Kimung.
Seperti koleksi yang dimiliki dirinya, tidak hanya lowrider Schwinn dengan bentuk standar pabrik, tetapi juga hasil modifikasi. Koleksi lowrider-nya dengan velg berbagai ukuran ring mulai dari ring 12, 14, 16, 20, 24, hingga yang 26 inci.
Seperti halnya Kimung, para anggota komunitas lainnya juga memiliki kecintaan atau bahkan bisa dibilang gila kepada sepeda lowrider. Untuk menunjukkan gaya hidup di komunitasnya, mereka terus berlomba-lomba mengoleksi lowrider, mulai dari buatan tahun lama (antik) hingga merek dan jenis terbaru serta terunik. Di antaranya, selain merek Schwinn, juga ada merek Benny, Cruiser, dan lainnya dengan berbagai ukuran velg.
Karena fungsinya hanya sebagai bagian dari gaya hidup, penggemar sepeda lowrider biasanya tidak pernah mengadakan acara mengayuh pedal untuk jarak yang sangat jauh, apalagi bersepeda hingga ke daerah yang sulit seperti tepi pantai atau lereng gunung. “Karena fungsi alat transportasi ini bisa dibilang lebih untuk bergaya. Tak berlebihan bila sebagian dari mereka menyebut sepeda lowrider sebagai show bike. Mereka pun seperti berlomba memodifikasi sepedanya agar tetap bergaya,” ungkap Gungun.
Tingginya minat pemilik untuk memodifikasi sepeda ceper membuat para perakit sepeda (builder) lokal pun mereguk untung. Alasan para pencinta sepeda ini tetap memesan sendiri onderdil kepada pembuat sepeda karena bagi mereka bentuk sepeda yang dijual utuh di toko sangat standar, kurang gaya. Kendati belakangan sepeda jenis ini mulai bisa dibeli di beberapa toko secara lengkap, mereka tetap saja kebanjiran order.
Kini, di tengah semakin maraknya penggila lowrider, muncul jenis lowrider twist. Jenis sepeda lowrider twist alias melintir, tidak hanya pada bagian setangnya, tetapi juga belakangan bagian kerangka, jeruji, hingga batang jok dan sandarannya ikut dipelintir.
Dibandingkan dengan lowrider jenis lainnya, pemilik lowrider twist gengsinya lebih tinggi. Hal ini karena tingkat kerumitan yang sangat tinggi dan proses pembuatannya juga jauh lebih lama. Harganya pun antara Rp 6 juta sampai ada yang Rp 15 juta. Membangun gaya hidup dengan sepeda lumayan mahal juga! (Retno H.Y./”PR”)***

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply