Komunitas Lowrider Tak Hanya Sekadar Hobi

Bagi Anda yang sering berjalan-jalan di seputaran Kota Medan, mungkin sesekali pernah melihat serombongan anak-anak muda mengendarai sepeda berbentuk unik. Dengan setir yang panjang bak motor gede, roda ban yang agak ke depan atau bodi sepeda yang terlihat pendek hanya beberapa sentimeter dari permukaan tanah, itulah sepeda modifikasi hasil karya dari komunitas Monkey Bike Lowrider Community (MBLC).
Lowrider, begitulah komunitas ini menamakan sepeda kesayangannya. Sepeda jenis ini belakangan sering kita jumpai di jalanan Kota Medan. Khususnya pada hari Sabtu dan Minggu pada pagi hari. Tak hanya sebagai hobi saja, ternyata di balik kumpulan komunitas ini tersimpan misi yang mulia. Apa itu?
Hobi jelas, semua anggota yang bergabung di komunitas ini pasti semuanya punya hobi bersepeda. Namun, kita nggak hanya menyalurkan hobi saja kok. Tetapi, semua yang kita lakukan ini juga punya misi sendiri yakni menggiatkan olahraga sepeda dan menggalakkan kampanye stop global warming, ungkap Hendra, Sekretaris Bendahara MBLC saat ditemui Global di Sekretariat MBLC Jalan Ismaliyah No 54 Medan.
Hendra menceritakan, konsep lowrider ini pada mulanya berasal dari Amerika. Itu pun asalnya dari komunitas penggemar mobil-mobil ceper (lowrider). Karena terlalu mahal berkreasi dengan mobil, Hendra dan kawan-kawan mengadopsinya dengan kendaraan lainnya. Pilihannya jatuh kepada sepeda. Selain karena sudah terbiasa, untuk memodifikai sepeda juga tidak membutuhkan biaya yang mahal.
Meski tahu kalau cikal bakalnya dari Amerika, namun Hendra mengaku tidak tahu persis kapan sepeda berbentuk unik ini masuk ke Indonesia, yang pasti dikatakannya jika akhir-akhir ini sepeda ini makin banyak peminatnya, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar, salah satunya adalah Kota Medan. Khusus untuk Medan, komunitas MBLC sendiri mulai terbentuk pada pertengahan bulan Oktober 2007 lalu, tetapi untuk resminya, lanjut Hendra, akan diadakan pada awal bulan September 2008. “Selama ini kita masih mengumpulkan anggota. Jadi, rencananya bulan depan akan kita resmikan. Sejauh ini di Medan baru kita yang punya komunitas seperti ini,” papar Hendra.
Sementara itu, nama Monkey (monyet) sendiri, menurut Hendra diambil dari anggapan masyarakat yang mengatakan jika sepeda ini merupakan sepeda sirkus yang biasa digunakan oleh monyet. “Alasannya ada dua, yang pertama itu, yang kedua kebetulan di Sumatera ini kan juga hidup orangutan yang juga termasuk keluarga monyet,” ujarnya sambil tersenyum.
Untuk mendukung kreativitas dan misinya, MBLC juga melakukan koordinasi dengan komunitas lainnya, seperti komunitas sepeda tua, komunitas sepedamotor dan beberapa komunitas lainnya.”Ya, paling kita saling bertukar informasi saja dengan mereka. Sekaligus juga menyebarkan misi kita yang utama, yakni global warming,” tambah Hendra.
Dari Ratusan Ribu Hingga Jutaan
Seperti halnya dengan sepeda motor yang memiliki tipe dan kelas masing-masing, sepeda-sepeda unik ini juga memiliki kelas yang didasarkan pada jenis modifikasinya. Lewat tampilan fisiknya, sepeda ini dibagi menjadi beberapa kelas, di antaranya Cruiser, Street, Limo, dan Chopper. “Biasanya kita melihat dari jenis modifikasinya, ada yang paling tinggi, namun ada juga yang standar saja. Tiap sepeda biasanya mewakili karakteristik pemiliknya sendiri. Soalnya, selera orang itu kan berbeda-beda,” seru Hendra.
Masalah harga juga tergantung dengan jenis modifikasi dan juga bahan yang digunakan untuk rangka sepeda. Beberapa anggota MBLC mengaku, untuk bisa memiliki sepeda berbentuk lucu ini harus mengeluarkan kocek dari mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. “Kalau agak sulit modifikasinya, ya agak mahal harganya,” jelas Junaedi, anggota lainnya yang juga merangkap Humas MBLC.
Takut Parkir Sembarangan
Untuk mengenalkan komunitas ini kepada masyarakat, hari Sabtu dan Minggu dijadikan rutinitas MBLC untuk berkeliling seputaran jalanan Kota Medan. Sekitar kurang lebih 50-an anggota berkonvoi mengelilingi Kota Medan. Setiap berkeliling, Hendra dkk banyak memiliki pengalaman, dari mulai menjadi bahan tertawaan, ada yang merasa aneh, juga tak jarang mereka mendapat pujian.
Meskipun sudah mendapat respons yang beragam dari masyarakat, namun komunitas ini masih belum berani tampil sendiri-sendiri. Bukannya mereka sombong, melainkan kalau jalan-jalan sendiri dan di tengah jalan ada apa-apa, mereka bingung mau di parkir di mana sepeda kesayangannya ini. “Kalau ada kawan kan enak, kalau kita pergi sebentar ada yang menjaga. Tapi, kalau sendiri mau parkir di mana. Takut sepedanya hilang,” jelas Hendra dan Junaedi sembari tertawa.
Namun meskipun begitu, ada juga yang menggunakan sepeda ini untuk berangkat bekerja. Riki ini salah satunya, salah satu anggota MBLC ini mengaku juga menggunakan sepeda lowrider miliknya untuk pergi bekerja. “Istilah kerennya Bike to Work lah, sekalian olahraga dan mengurangi polusi kendaraan,” ungkap Riki bangga.
Setiap hari Riki mengayuh sepedanya dari rumahnya yang terletak di Jalan Turi, menuju tempatnya bekerja di Sun Plaza. Meski hemat, namun Riki mengaku risikonya juga besar. Tidak tertibnya kendaraan angkutan umum yang beroperasi di jalanan Kota Medan adalah penyebabnya. Pasalnya, ia pernah memiliki pengalaman diserempet oleh angkot ketika hendak bekerja. “Luka sih, tapi untungnya nggak terlalu parah,” seru Riki sambil berharap agar para sopir angkot lebih tertib jika di jalanan.

Posting Lebih Baru Posting Lama

One Response to “Komunitas Lowrider Tak Hanya Sekadar Hobi”

  1. saya dari spin production , ingin tanya komunitas ini letaknya dimana ya ? kalau bisa saya minta contact person nya supaya bisa di obrolin lebih jauh . terima kasih

    BalasHapus